HABIS GELAP TERBITLAH JOMBLO
Sengaja saya kasih judul tulisan ini hampir mirip dengan judul buku ibu Kartini. Namun, tentu saya tak akan membahas perihal emasipasi wanita. Itu terlalu klise dan sudah banyak pakar membahasnya. Disini saya akan membahas emansipasi jomblo. Ya, saya akan membahas masalah kesetaraan para jomblo dilingkungan kita.
Pada dasarnya, jomblo adalah mahluk yang kalah dengan hatinya sendiri. Secara yurisdiksi, jomblo mempunyai hak dalam pilihannya, ia bahkan bisa menyelamatkan dirinya dari pasangan lain dengan dalih berteman dengan kesepian.
Kesepian disini bukanlah karena ia sulit menentukan pasangan yang cocok dengannya, melainkan ia harus melawan kodrat dalam dirinya untuk tidak berpasang-pasangan. Bayangkan saja, malam bisa menghadirkan siang untuk saling menyempurnakan siklus kehidupan dunia, sedangkan para kaum jomblo lebih memilih pojok kesepian yang menurutnya adalah takdir yang dijulurkan Tuhan kepadanya. Sungguh ironi.
Kesepian tidak lagi menjadi alasan untuk tidak menjadi jomblo. Pada sesi waktu yang berbeda, ia memilih untuk menyibukkan dirinya dengan alasan yang sebenarnya dibuat-buat. Artinya, kaum jomblo akan menjadi pribadi yang tangguh dengan kemalasan-kemalasan. Ia dituntut lebih aktif menyingkirkan rasa dalam dirinya demi sebuah status. Status yang menurutnya ia merasa berdaulat.
Misalnya, saya mempunyai teman namanya RADAB, ia memilih jomblo bukanlah dengan alasan-alasan diatas, melainkan karena dia diputuskan lalu ia berharap balikan. Ia tentu bukanlah kaum jomblo kebanyakan, tetapi ia memutus matarantai perasaannya karena kegagalan dalam sebuah tali kasih. Maka, banggalah si RADAB ini dengan statusnya sekarang menjadi jomblo. Bahkan ia mencari-cari bahasa yang tepat untuk dijadikan dalil bila statusnya terbongkar. Misalnya, jomblo sampai halal atau pacaran setelah nikah, bahasa semacam ini akan digunakan manakala posisinya terjepit dan ia harus berontak pada hatinya sendiri. Padahal, ia sebelumnya pacaran, gagal lalu memasang badan untuk menentang orang-orang yang mempunyai pacar. Ini mirip dengan peribahasa lempar batu sembunyi tangan, artinya si RADAB ini mirip-mirip dengan kaum penjilat. Ada kepentingan diantara dalih-dalihnya.
Emansipasi jomblo
Kesetaraan hak menuntut kita belajar banyak hal, termasuk hati. Kesetaraan menjadi pondasi untuk membangun sebuah pradigma peralel. Artinya, kesetaraan disini menjadi dasar untuk mewujudkan sebuah kehidupan yang layak.
Disisi lain, seringkali kesetaraan hanya menjadi ilusi. Kaum yang menganggap demikian tidaklah lain adalah kaum jomblo. Ia berkeyakinan bahwa kesetaraan adalah bukan keproporsionalan takdir yang harus ada disemua tubuh manusia. Kesetaraan dalam kehidupan kaum jomblo lebih dominan meminta haknya untuk lebih dihargai. Dari sini kita bisa membayangkan, misalnya HANIMA adalah seorang perempuan yang belum bisa melepas masalalunya. Lalu ia berkometmen untuk dirinya sendiri untuk tidak pacaran lagi. Maka, tentu kita harus menghargainya, karena ia memilih haknya untuk menjadi pribadi yang tangguh merawat kenangan-kenangan terdahulunya.
Jika suatu saat si HANIMA ini memilih untuk melepas masalalunya, maka pergeseran dan keterbukaan hatinya untuk manusia lain adalah kesetaraan yang proporsional. Artinya, ia mempunyai jalan untuk mengimbangi antara hati dan kometmen.
Berbeda dengan kasus si RADAB diatas, si HANIMA lebih berdaulat dan membuat kesetaraan menjadi dasar hatinya tidak kesepian lagi. Kasus keduanya sama yaitu jomblo, bedanya, HANIMA lebih bijak mengurus kodratnya ketimbang RADAB yang secara naluriyah ia berbohong kepada pikiran-pikirannya sendiri.
Sisi gelap Jomblo
Barangkali, menjadi kaum jomblo adalah keterpurukan ketimbang kemiskinan harta. Terpuruk karena banyak di media sosial status orang jomblo tidaklah lebih dari motivator atau orang yang sering ngomong sendiri (baca: gila). Kaum jomblo serempengan macam ini banyak ditemui di Indonesia. Mereka merasa dirinya berdaulat karena punya BBM, Line, Facebook, WhatShap, Path, Twitter dan media sosial lainnya. Padahal, jika mereka sadar, mereka adalah orang-orang terbuang ditengah-tengah keramaian. Mereka diasingkan oleh media sosial yang mereka nilai bahwa statusnya lebih berguna untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat, adil dan makmur.
Sisi gelap lainnya menjadi seorang jomblo adalah mereka yang secara sadar menolak bahagia. Bukankah kita diciptakan berpasang-pasangan untuk saling melengkapi? membahagiakan antara satu dengan yang lain? saling menutupi kekurangan dari pasangan kita? Sedangkan mereka beralasan bahwa kebahagiaan tidak semua datang dari pasangan. Padahal jika kaum jomblo ini berpikir, bukankan ia hadir kepermukaan bumi karena berpasang-pasangan, bukan dari tetesan air ke batu lalu berwujud dirinya? Tentu itu adalah pikiran yang sesat dan gagal.
Dengan demikian, tulisan ini tidak semerta-merta mendiskriminasi sebuah hak menjadi jomblo. Tulisan ini hanya diuntukan bagi mereka yang sekarang jomblo tapi ia juga berstatus sebagai korban pacaran lalu ia pura-pura tabah menghadapi kesepian. Pacaran tidaklah salah, hanya dalam perakteknya saja yang membuat stigma miring tentang pacaran. Apabila kaum jomblo yang demikian menganggap pacaran itu haram bukankah mereka adalah korban pacaran? Makanya kata Cak Lontong “Mikir”.
Posting Komentar untuk "HABIS GELAP TERBITLAH JOMBLO"
Berkomentarlah dengan bijak