HIJARAH KE RANTAU: memahami cinta yang tak sudah
Oleh: Moh Mahfud
Dengan
diterbitkannya Hijrah ke Rantau setelah buku pertama, Estetika dalam
Bahasa. Syarif memberikan aroma baru dalam kepenulisannya, kegelisahan
selalu Nampak dalam setiap sajaknya yang ia tulis kisaran waktu
2013-2015. Buku Hijarah ke Rantu seyogyanya lebih bernafas ke sebuah
tempat yang masih universal, meski buku kumpulan sajak ini beragam
nyeri, rindu, kenangan dan pengalam spiritual yang terdapat dalam
beberapa puisinya, nyatanya Syarif lebih terlanjur menangkap perasaannya
dengan sebuah nama, Atul.
Terlihat
orientasi kepenulisannya Syarif begitu kental dengan akrobat bahasa,
disisi lain metaphor yang disajikan begitu menggambarkan tentang
penyakit yang ada dalam kepalanya, rindu. Metaphor yang hanya bisa
ditafsirkan oleh si penyair ke dalam hakikat rasa, maka tentu kita tidak
mudah menilai sebuah puisi kedalam perspektif kita masing-masing. Untuk
itu, tulisan ini akan menelisik sekelumit tentang apa itu hijarah,
Rantau dan cinta.
Hijrahnya Kepala Syarif
Dalam
kamus Tesaurus Alfabetis Pusat bahasa, arti kata hijrah adalah
berpindah, menghindar, mengungsi, menyingkir, menyelamatkan diri dan
migrasi. Perlu digaris bawahi, bahwa kata hijrah dalam judul buku ini
adalah perpindahan sebagai penyelamatan. Perpindahan yang dimaksud
disini adalah secara kontekstual, yaitu hijrah cinta yang bermukim
sebelumnya ke tempat sekarang yang dianggap lebih aman dan bahagia.
Latar belakang peralihan cinta Syarif inilah yang mengantarkan dirinya
pada penemuan terakhir yaitu hadirnya sosok Atul dalam setiap lahirnya
sebuah puisi yang ia tulis.
Ada
kecenderungan peran tokoh yang mampu membuatnya bergerak lurus ke sisi
jalan yang baru. Karena ada ancaman pada kenangan sebelumnya ia sangat
yakin bahwa dengan ia berhijrah kepada hati lain dirinya akan selamat.
Barangkali,
wanita adalah sisi lain yang bisa membuat seorang lelaki tergila-gila
dan bahkan gila. Ketika kegilaan ini dipelihara dengan sikap vartikal,
seorang akan mampu menangkap hal-hal kecil menjadi sebuah realita dalam
setiap percakapannya, misalnya dengan angin, rindu, malam, dan
perjalanan hijrah yang begitu sakral. Ia mungkin di cap sebagai seorang
yang gila, namun, sebenarnya kegilaan-kegilaan itulah yang membuatnya
sadar bahwa kehidupan adalah kegilaan yang sebenarnya orang lain belum
bisa memahaminya.
Untuk itu,
hijrahnya Syarif tidak bisa dilepaskan dengan peran perempuan yang bisa
mengubah hidupnya penuh kegetiran, nyeri rindu, kenangan-kenangan indah
dan kepalanya yang tak henti-henti menasbihkan nama perempuan itu, Atul.
Rantau adalah Tempat Memanen Rindu
Rantau
adalah nama tempat yang ada di Kalimantan Selatan. Jika kita tarik
nafas sedikit lalu duduk dibawah pohon rindang dengan disertai angin
sepoi-sepoi bukankah kita bisa menggambarkan sebuah masa depan yang
sesuai keinginan? Dimana setiap niat begitu berharap di istijabah oleh
Tuhan dan kita hidup bahagia?
Sebagai
tempat berlabuh setelah sekian lama melaut digelombang rindu, tentu
Rantaulah tempat paling diharapkan Syarif untuk mengistirahatkan segala
doanya. Yaitu, Syarif dan Atul membuat sebuah rumah dengan anak-anaknya
yang lucu juga kebahagiaan lain yang tidak terduga. Semua itu adalah
puncak pencapaian dalam perjalanan cinta Syarif.
Di
Rantau ia bisa memanen rindu yang ia tanam dari biji-biji kenangan yang
di tabur sekarang. Menyiramnya dengan waktu yang tak putus-putus dan
tentu merawatnya hingga ia cukup dewasa untuk dikenang.
Memelihara Cinta dengan Cinta
Tidak
bisa dipisahkan buku kumpulan puisi Syarif Hidayatullah ini dengan
cinta, pada dasarnya, semua dalam sajak-sajaknya menuturkan cinta.
Ibarat gerimis yang turun dari langit saat malam gelap, selain ia basah
ia juga menyimpan dingin yang bagi siapa saja bisa merasakannya.
Cinta
dalam buku ini begitu kental, beragam dan sulit diterka analisis
dangkal. Didalamnya kita akan menemukan segumpalan cinta kampung
halaman, cinta pada seseorang, cinta pada keagungan ciptaan-Nya dan
cinta pada yang ia cintai.
Dengan
kondisi demikian, adalah hal wajar ketika Syarif hampir semua sajaknya
dibumbuhi cinta. Cinta yang kadang-kadang begitu liar dan nakal.
Analoginya ketekunan Syarif dalam mengolah puisi seperti seorang petani
Kelapa, ia harus merawatnya bertahun-tahun, sebab ia tahu kelak ia akan
haus lalu minum air kelapanya dengan penuh syukur. Bukankah cinta yang
baik adalah memeliharanya dengan cinta yang baik pula?
Hadirnya
buku Hijarah ke Rantau memberi gambaran bahwa penulis-penulis muda yang
ada di Kalimantan Selatan masih cukup menjanjikan, jarang sekali saya
temui penulis muda yang sampai bisa menerbitkan buku kumpulan puisinya
hingga di baca banyak orang. Namun, sayangnya penyajian buku ini masih
tergolong ‘miskin nilai seni’. Itu bisa terlihat dari cover yang
disajikan kurang sejajar dengan judul buku, cover dengan motif seperti
ini samasekali tidak mewakili perasaan penulis dengan pemilihan judul
Hijrah ke Rantau. Belum lagi editor dalam buku ini begitu kurang
hati-hati. Terlihat banyaknya salah ketik dengan ukuran font yang
menurut saya begitu boros halaman, tentu tulisan yang rapi akan membuat
si pembaca akan merasa lebih betah menyelesaikan bacaannya. Semoga
percetakan buku ini tidak hanya melulu bicara kuantitas tetapi harus
diseimbangkan dengan kualitas yang ia kerjakan. Amin.
*Penikmat seni, saat ini bekerja di LPM Sukma Banjarmasin
Posting Komentar untuk "HIJARAH KE RANTAU: memahami cinta yang tak sudah"
Berkomentarlah dengan bijak