Ontel Tanpa Iklan di Pedalnya
Hembusan
nafas berlari kencang mengitari rongga dada yang turun naik tak beratutan.
Menyempit lalu melebar. Peluh dingin dengan mesra mengaliri punggung dan leher.
Merayap kebagian tubuh yang lebih rendah, menyisip pada semua sudut ciptan-Nya.
Kain tebal sebagai pelindung dari lelaki jalangpun terkena imbasnya. Basah, tak
sebasah mandi basah, hanya sedikit basah bagaikan terkena cipratan air terjun Haratai
di Loksado dengan ketingian 20 meter. Basah yang memperindah kecantikan dan
keperkasaan seorang gadis yang tak lagi disebut remaja. Dikayuhnya dengan
seksama. Ontel berwarna abu rokok tanpa ada gambar iklan seram di pedalnya.
Senyum menyeringai lembut dari balik masker pelindung debu jalang yang ada
disetiap jejak perkotaan. Senyum keterpaksaan yang dibalut rasa sabar atas
kenyataan yang diperkosa keadaan. Tak pernah terpikir olehnya, berjuang sendiri
di tengah ganasnya dunia nyata. Menjejaki jejak baru tanpa ada jejak yang
mejejaki.
Dikayuhnya
sekali lagi pedal ontel itu. Sejenak nampak terlihat bibir kering di antara
sudut wajanya. Lelah. Pusing kepala gadis itu sangat jelas terlihat dari
guratan matanya yang berair. Di rak sepadanya tersusun campur barang-barang
bawaan, dibalik punggung kurusnya tersampir tas ransel berukuran layaknya anak
kudanil usai makan. Berat. Sungguh berat. Bibirnya mulai mencibir ketika
perjalanan mulai ramai oleh kenadaraan mewah lain. Sorot matanya yang sedari
tadi fokus pada jalan, kini berpindah jadi jelalatan pada motor yang baru saja
menyelipnya dengan kecepatan turbo. “Kenapa lelaki itu cepat sekali ? tidak
kah ia membahayakan masa depannya ? atau dia ngebut karena ada aku dan sepadaku
?”. Pikirnya yang sangat retoris. Selalu menyalahkan diri. Khawatir akan
dosa.
Otaknya
macet. Ia pun berhenti di pertigaan jalan menuju rumahnya. Bukan, itu bukan
rumahnya. Itu adalah rumah kontrakan yang kesekian kalinya. Ia selalu berpindah
setiap habis bulan. Mencari lokasi yang sesuai dengan statusnya sebagai
mahasiswa. Ontel abu rokok itu, ia parkirkan di pinggir jalan. Sedang ia
sendiri duduk termangu di sebelahnya. Nafasnya kembali naik turun. Tangan kasar
berwarna kuning pisang tua itu diremasnya.
“Haruskah
aku menuntun sepedaku, agar orang-orang tak terganggu akan kehadiranku ?”
keluhnya penuh bingung.
“Tidak...
tidak. Aku pun punya hak atas jalan ini. Tak penting mengapa orang itu jadi
cepat sekali.” Sadarnya pada kebodohan diri.
Melihat
diri menjadi pusat perhatian para pengendara lainnya. Seberkas kilat ia menaiki
sepeda abu rokok itu. Menukik tajam pada persimpangan, tanpa memperhatikan
sekitar.
“Gilaa...
haruskah aku membuat diri malu karena kebodohan otak ini ? Hahhhgghh... harus
berapa kali aku menyadarkan diri atas rasa bersalah tak masuk akal ini.”
Gumamnya berapi-api.
“Haaahhhhggh....
Ya Allah...” keluhnya.
“Punnn...”
Sekelebat
tubuh gadis itu menukik ke arah kiri belakang. Ia memang tak bisa menengokkan
kepalanya ke sebelah kanan, jika itu terjadi. Dapat dipastikan ia kan jatuh
beserta sepedanya. Penasaran terhadap jawaban atas perkataannya. Namun rupanya
posisi orang yang menyahutinya itu tidak di kiri belakangnya. Tak mendapati
muka yang berbicara. Ia pun mengerem mendadak pada belokan yang hampir sampai pada
gang rumahnya. Penasaran. Hal itulah yang memaksanya berhenti. Citttt... Tentu
saja. Ontel yang ada dibelakangya gelagapan. Syukur tak terjadi tabrakan.
“Kenapa...?”
emosi orang itu. Ternyata ia adalah seorang lelaki yang tak kalah gantengnya
dengan Raditya Dika.
“Hhhee...”
senyum malu yang tersimpul takut.
Sepertinya
ia salah paham akan jawaban tadi. Jelas terlihat ditelinga lelaki itu sedang
tersangkut headset yang terhubung pada handphone di saku celana.
“Sebentar Mah...” lanjut lelaki itu berbicara pada orang yang ada di seberang sana.
Aauuuuww....
malunya. Muka gadis itu berevolusi. Secara spontan pucat pasi. Gemetar kakinya
tergambar dari rok hitam yang ia kenakan, bergerak-gerak sesuai irama jantung.
“Ada
apa...?” selidik lelaki itu lagi.
Bingung.
Hal biasa yang akan ia lakukan saat seperti ini adalah, diam. Ia takkan
beranjak dari tempatnya. Melihat kelakuan aneh dari gadis itu. Sang lelaki
serupa dengan Raditya Dika itu pun beranjak pergi, mengayuh sepedanya yang berwarna
orance stabilo.
“jawaaaab...” desak lodika gadis itu. “jangan buat dirimu malu lagi”
“Ma---
a---aff... itt---tuu...” ucapnya gagap.
“Hemmm...”
respon lelaki itu. Padahal ia telah mulai mengayuh sepedanya. Namun ia tetap
mendengar suara parau bernada gagap itu. Ia berhenti. Dan mundur beberapa senti
ke belakang. Ditatapnya lekat-lekat tubuh gadis itu. Senyum mengejek tiba-tiba
menyeringai. Ketika ia mendapati rupa gadis itu sungguh ketakutan.
“Tadi aku
meihat ada uang di jalan...” Tandas gadis itu memperlihatkan kebodohannya.
Kebodohan
yang telah sekian kali ia lakukan, dan hal itu terjadi di saat dirinya berada
di bawah tekanan. Tentu saja lelaki itu penasaran, di kitarinya lokasi setempat
dengan sudut matanya yang tajam. Namun ia tak mendapati uang yang dimaksud.
“Uangnya udah
diambil oleh Tuhan. Itu haknya orang yang berhak.” Celetuk gadis manis itu.
Jawabannya
kali ini sungguh tak masuk akal. Lelaki itu, menyeringai kecut. Lalu pergi
membawa otak yang tepaku pada rasa was-was.
“Hhhee...”
senyum gadis itu bangga.
Dinikmatinya
suasana kacau saat itu. Ia senidiri tak pernah berencana untuk berdusta seperti
itu. Tapi ini adalah sebuah dalih pelarian, dari rasa bersalah yang menyerbu.
Ia tahu siapa lelaki itu. Adalah anak seorang dokter yang berada di gang
sebelah. Rupanya gadis yang tak begitu cantik ini merupakan pengamat perjaka di
sekitar komplek. Pasalnya, ia baru saja pindah dua hari yang lalu ke tempat
ini, tapi telah mengetahui penghuni tampan yang ada di sekitar.
Sepuluh
menit, lima belas menit, tak jua ia beranjak dari tempat. Ia masih menyesuaikan
irama jantungnya. Mengaturnya agar tak berirama terlalu ngebit.
Mu’adzin
di langgar pun tak bisa menahan lengkingan suaranya. Mengabarkan waktu malam
telah tiba. Menebar undangan agar hadir pada perjamuan Tuhan. Mata gadis itu
berlarian mengitari lokasi. Ia baru tersadar, hari tak lagi bercahaya.
Diinjaknya pedal sepeda abu rokok dengan setengah kekuatan yang ada.
Oleh: si Mbah
Sumber foto: Google
Posting Komentar untuk "Ontel Tanpa Iklan di Pedalnya"
Berkomentarlah dengan bijak