Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Opini] Kematian Mahasiswa


Ilustrasi by Fakhratul Millah

Identitas mahasiswa pada generasi masa kini tidak lagi sama dengan identitas mahasiswa pada generasi masa lalu. Diskursus yang terbentuk pada mahasiswa generasi terdahulu yang mencuat ke ruang publik ialah diskursus mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan lain-lain. Diskursus tersebut kini oleh beberapa mahasiswa tua berupaya ditanamkan kembali kepada mahasiswa yang baru menapaki zamannya. Karena barangkali setiap generasi meyakini bahwa mereka telah mencapai titik balik dalam sejarah, yaitu peran dan fungsi mahasiswa yang menyejarah dalam pengalaman bangsa Indonesia hingga akhir masa Soeharto. Tetapi kini zaman telah berubah, peran mahasiswa yang menyejarah terhadap pengalaman bangsa tidak lagi menjadi diskursus pada masa kini. Tuntutan serta tanggung jawab dari orang tua, arahan dan tuntutan rektorat dan dekanat, pengaruh sosial media dan intraksi sosial pada rutinitas harian, menjadikan identitas mahasiswa masa kini memiliki artikulasi yang berbeda dengan identitas mahasiswa terdahulu.

Dalam refleksi makna identitas mahasiswa pada awal-awal pembentukan bangsa Arief Budiman menulis Students as Intelegensia: The Indonesian Experience (1981), menyatakan bahwa para mahasiswa Indonesia termasuk dalam kelompok inteligensia yang memberikan andil penting dalam pengalaman Indonesia. Kemudian Pramoedya Ananta Tour dalam wawancara dengan salah satu media mengatakan, “semua kemajuan di Indonesia dimotori oleh angkatan muda dan mahasiswa”. Selain itu, pidato Muhammad Hatta  yang disampaikan kepada para mahasiswa yang berjudul Tanggung Jawab Moril Kaum Intelegensia. Memberikan pengertian bahwa mahasiswa bukan hanya sebagai entitas kolektif yang hanya belajar dan belajar saja, tetapi terdapat tanggung jawab moral pada dirinya yang berorientasi pada perubahan organisme masyarakat. Mahasiswa sebagai elit pendidikan memiliki tuntutan untuk mewujudkan kesanggupan itu, yaitu sebagai ‘elit’, yang berarti ‘minoritas orang yang sangat berpengaruh dalam membentuk struktur kelembagaan atau ranah dalam aktivitas masyarakat’.

Tapi kini pemahaman itu hanya menjadi nostalgia masa lalu, kenyataannya mahasiswa masa kini duduk di bangku perkuliahan karena orientasi untuk mencari pekerjaan yang mapan. Wacana dalam keseharian mahasiswa bukanlah lagi tentang pengabdian bangsa, tetapi lebih kepada euphoria atas berkembangnya zaman. Kegiatan-kegiatan mahasiswa bukan lagi pengabdian, tetapi kegiatan-kegiatan berupa penyaluran hobi dan bersenang-senang. Identitas mahasiswa sebagai kaum terpelajar kini tinggal landas dan memasuki reidentitasisasi serta diskursusnya yang terfragmentasi oleh berkembangnya zaman.

Padahal mahasiswa sebagai komunitas episemik dari sebelum hingga sesudah kemerdekaan, menempatkan wacana mahasiswa sebagai kaum intelegensia dengan berbagai sebutan. Pada dekade pertama abad ke-20, sebutan ‘bangsawan pikiran’ muncul ke ruang publik, istilah ini merupakan sebuah kode untuk menamai generasi baru dari mahasiswa Hindia Belanda yang terdidik secara modern yang ikut serta dalam gerakan menuju ‘kemadjoean’, berlawanan dengan istilah ‘bangsawan oesoel’ yang dikaitkan kepada kebangsawanan yang lama. ‘Bangsawan pikiran’ juga diberi nama ‘kaoem moeda’, sementara kolektivitas ‘bangsawan oesoel’ diberi nama ‘kaoem toea’ atau ‘kaoem koeno’. Pada tahun 1910-an sebutan itu kemudian berubah menjadi ‘kaoem terpeladjar’, ‘pemoeda peladjar’ atau jong (dalam bahasa Belanda). Pada tahun 1930-an dan lebih sering digunakan dalam wacana pada tahun 1940-an, di Hindia Belanda populer istilah ‘intellectueelen’ atau intelektuil. Pada tahun 1960-an¸istilah cendikiawan (atau ‘tjendekiawan’ dalam ejaan lama) mulai menjadi wacana bagi mahasiswa maupun alumnusnya hingga tahun 1998. Maka itulah identitas mahasiswa bagi yang mengenal sejarahnya, dan itulah identitas mahasiswa bagi yang mengenal bangsanya.

Tapi kini zaman telah berubah, sedangkan cita-cita masih tetap besar dan tinggi. Sehingga bagaimanakah harusnya? Apalah lagi yang dapat diperbuat jika fragmentasi menjangkit semua kalangan. Karena telah letih dan lelah, melihat dan mendengar serta merasakan gejala moral dalam peristiwa politik-kekuasaan, politik-ekonomi, politik-hukum, penanganan lingkungan, sistem pendidikan dan gejala kemiskinan di negeri ini, namun masih saja setia menyaksikan rentetan peristiwa-peristiwa itu. Sebagai bangsa Indonesia yang saat ini tengah terpuruk di segala bidang, secara politik tidak stabil, secara ekonomi tidak sejahtera, dan secara sosio-kultural –khususnya pendidikan– terkebelakang. Ketika dihadapkan pada fakta-fakta historis maupun kontemporer tersebut sungguhpun begitu saja diam atas fenomena yang melanda negeri ini. Sulit membayangkan jika kenyataannya bahwa memang begitulah mahasiswa kini.

Andai saja mahasiswa kini kembali menyejarah, sungguh mahasiswa memiliki keunggulan posisi yang strategis. Keunggulan posisi sebagai mahasiswa dapat menjadi sumber legitimasi kultural bangsa, yang tidak terikat oleh kepentingan-kepentingan kelas, gaji, dan profesi, serta status mahasiswa yang dapat menikmati hak-hak dan kekebalan-kekebalan yang telah diterima oleh adat/ kebiasaan. Andai saja mahasiswa dapat dipersatukan seperti sejarah yang telah lalu, seperti sejarah mahasiswa yang disatukan bukan oleh standar kehidupan atau pendapatan yang bersifat ekonomis maupun oleh kepentingan-kepentingan lain, tetapi dipersatukan oleh kesamaan sikap dan suatu panggilan bersama, yaitu ‘mengabdi pada bangsamu’.

Kini seperti inilah kenyataan yang terjadi, kematian mahasiswa.

Meskipun mahasiswa pada zaman ini telah meyakini bahwa mereka telah mencapai suatu titik balik perubahan menuju zaman yang baru (new era). Perubahan yang bersifat sinkronik dalam moral, ilmu, dan perilaku yang berakibat terhadap andil kontinuitas yang bersifat diakronik dalam menyejarah menapaki masa depan. Bahwa mahasiswa sebagai manusia dalam membentuk sejarah menjadi buruk kian memburuk ataupun baik kian membaik merupakan pilihan dari kebebasan mereka. Apapun kebebasan yang dipilih akan selalu terdapat ketetapan-ketetapan (hukum alam/ rasio) yang berlaku pada alam dunia yang akan selalu memahamkan bahwa terdapat konsekuensi logis sebagai akibat dari pilihan kebebasan itu. Maka mahasiswa sebagai manusia dalam mengekspresikan kebebasan dengan sadar terhadap konsekuensi yang dilakukan, meniscayakan mereka untuk bertanggung jawab dalam berbuat.

Penulis : Ahmad Saupi (Pimpinan Redaksi LPM Sukma 2012-2013)

Posting Komentar untuk "[Opini] Kematian Mahasiswa "