Tak Seharusnya ku Sebut “Pekerja Nakal”
Oleh : Uliy
Membicarakan
tentang dosen itu artinya membicarakan tentang keilmuan yang ada pada
dirinya. Membicarakan keilmuan itu artinya membicarakan masa depan yang cerah.
Tentu saja semua pembicaraan tentang dosen, ilmu dan masa depan yang cerah
hanya bisa didapat di bangku kuliah. sebab semua itu terikat pada satu kata,
“dosen”. Jika tidak ada kata ini tentu saja kita bisa mendapatkan obrolan
santai tentang ilmu dan orientasi tentang masa depan yang cerah di luar dari
pada perkuliahan. Lesehan di pinggir jalan misalnya atau kumpul diskusi dengan
mereka yang tak diragukan lagi keilmuannya. Dan semua itu tidak terlalu
memerlukan biaya besar, cukup uang tiga ribu rupiah untuk membeli secangkir
kopi, membasahi bibir dan tenggorokan agar sedap dipandang.
Namun,
tidak demikian dengan keilmuan dan masa depan yang dikaitkan dengan kata dosen.
Perlu pembiayaan besar dan banyak pengorbanan agar bisa duduk tenang dalam
ruangan sambil menerima hajatan dari sang dosen. Seseorang yang berilmu yang
ahli dalam bidang-bidang yang sudah dikuasai sehingga untuk masalah
profesionalis kerja tidak usah diragukan lagi.
Tapi
tidak semua kategori dosen itu bisa masuk dalam kriteria profesionalis, sebab ada oknum yang
bersembunyi dibalik kearifan dosen yang luhur dalam membagikan ilmunya. Sebut saja, “pekerja nakal”. Yang acap kali mengambil hak-hak mahasiswa sebagai
penuntut ilmu.
“pekerja
nakal” yang tersebar di berbagai fakultas ini lebih sering menghabiskan
waktunya entah dimana dan kemana saat jam kuliah berlangsung. Mahasiswa acapkali
kebingungan dan merasa kesal dengan hal ini, “mungkin dosen itu cuman numpang
nulis nama dan gelar di siakad dan jadwal kuliah kita.”
Jika
begini adanya, merugilah mereka, mahasiswa yang rajin membayar uang pangkal.
Merugilah orang tua yang mengirimi uang anak-anaknya untuk menuntut ilmu. Sadar
atau tidak imbas dari adanya “pekerja nakal” ini sangat luas sekali. Mulai dari
materil hingga immateril.
Dampak
dari adanya materil tentu hanya akan merugikan sesaat, sebab semua itu bisa
dicari lagi. Akan tetapi, jika dampaknya itu immateril, berupa pergaulan
mahasiswa yang tidak sewajarnya, karena adanya peluang bagi mahasiswa ini untuk
melakukan hal itu.
Secara
persentase angka, kemungkinan besar keadaan dan rasa mahasiswa ketika
mendapati “pekerja nakal” ini adalah 90% bahagia. Inilah keadaan mahasiswa
kita, bersikap apatis dan tidak mau tahu terhadap keadaan yang ada.
Jika
sudah begini banyak pihak yang akan merugi. Mbok yaa, seandainya “pekerja
nakal” itu memberikan solusi dan keterangan atas perbuatan itu tentu tidak akan
mendapat gelar “pekerja nakal” dari mereka, mahasiswa yang seharusnya
menghormati.
Sumber photo: google
Posting Komentar untuk "Tak Seharusnya ku Sebut “Pekerja Nakal”"
Berkomentarlah dengan bijak